Sabtu, 31 Oktober 2015

Dulu Minta Nomor, Sekarang Bawa Nomor (Bagian I)

Ilustrasi
Uwe-Ntira, supranaturalis di  negeri emas, Wentira, cukup terheran-heran, seorang langganannya dari  negeri  Kayu Lapuk. Dulu-dulu sering datang minta minta nomor. Ya, apalagi kalau bukan nomor togel.

Sekarang,  langganan dari  provinsi tetangga itu, datangnya membawa nomor.

“Uwe, minta ramalan nomor.”

“Nomor  apa, Timses.”

“Nomor yang diramal  Uwe.”

Uwe-Ntira, yang oleh Timses disebut Uwe, melongo. Tidak biasanya Timses minta nomor yang diramal peruntungannya. Karena lalu-lalunya Timses hanya minta nomor yang bakal muncul dalam putaran togel versi Singapura.

“Mana nomor yang mau diramal Timses?”

Timses lalu mengeluarkan tiga lembar  kertas yang sudah rapi  menyerupai lipatan tissue di rumah makan. Warnanya, biru, merah kuning. Uwe-Ntira, semakin bingung, nomor apa yang ada dalam lipatan kertas warna-warni itu. Namun sebagai peramal, dia harus segala tahu.

“Oh, nomor-nomor ini minta ditebak  Timses. Ya ya, tahu.”

“Bukan Uwe.”

Uwe-Ntira membelalak. Ia tidak enak hati disanggah oleh Timses. Sebagai peramal ternama di negeri  terkemuka, ia harus tahu segalanya  termasuk lipatan kertas yang dibawa oleh Timses. Ia juga mulai berpikir, apa dibalik kertas biru, merah dan kuning itu. Jangan-jangan  nomor rekening yang berisi uang milyaran rupiah. Karena ia tahu, Timses adalah salah seorang pejabat penting di  negeri Kayu Lapuk, dengan lihainya,  ia bisa saja memain-mainkan uang negerinya demi diri dan kroninya.

“Timses, itu tiga nomor rekening tho, mengaku, saja, Uwe, dah menebaknya.”
Timses melongo, Uwe-Ntira yang selama ini dianggapnya peramal hebat, ternyata lebih jauh menebak dirinya. Bukan saja meramal, peruntungan nomor-nomor yang ada di balik lipatan kertas yang dibawahnya. Tetapi juga tahu apa isi kepalanya berhubungan dengan nomor-nomor yang di bawaya itu.

 (bersambung . . .)

Alkisah ini hanyalah rekaan semata. Kesamaan tempat dan nama tokoh hanya kebetulan belaka.
Dari: Pesanuwentira.blogspot.com

Jumat, 30 Oktober 2015

Jalan-Jalan Ke Bumi "Kondo Sapata Waisapalelean"

Kabut di Pegunungan Mambulilling, Mamasa   (foto: int/pesanuwentira.blogspot.com)


Dari beberapa literasi yang terbaca penulis, termasuk kunjungan ke beberapa website dan blog di dunia maya, menyebutkan secara seragam bahwa nenek moyang orang Mamasa berasal dari Ulu Sa’dan, Tanah Toraja, hal tersebut memang bisa dibuktikan secara kasat mata berdasarkan beberapa fakta yang tersimpan hingga sekarang ini. Dicontohkan pada kesamaan bahasa, budaya dan kesenian.

Website dan Blog yang penulis kujungi seperti Suara Mamasa, web. portal Pemkab. Mamasa, Mamasa Tempodoeloe. Blog. Spot.com, Toraja Cyber News, malaqbi.com, www.tokohindonesia.com, http://mamasa-online.blogsp, menyebutkan bahwa Mamasa adalah sebuah tempat berada di sebelah barat Toraja dan sering disebut Toraja Barat, pada jaman kekuasaab kolonial Belanda.
Tentang asal usul orang Mamasa, hampir semua catatan tentang Mamasa menyebutkan, bahwa dalam kisaran cerita yang diturunkan secara turun temurun. Tentang enam orang bersaudara, berbadan besar dan tegak dari Ulu Sa’dang (wilayah ini dalam Kabupaten Tana Toraja, red.) berjalan melakukan pengembaraan. Mereka itu bernama Puang Rimulu,’ Mangkoana (Lando Belue’), Pongka Padang, Bombong Langi, Lando Guntu dan Lombeng Susu.
Keenam orang ini kemunculannya di Ulu Sa’dang tidak diketahui dari mana asalnnya. Keenam laki-laki ini kemudian memilih arah pengembaraannya, Puang Rimulu memilih untuk tinggal di Rantepao, Lando Guntu ke Duri (mungkin di Kab. Enrekang), Lombe Susu ke Lohe Galumpang, Bombong Langi’ ke Masumpu, Lando Belue ke Bone (mungkin di Kab. Bane di Sulawesi Selatan). Sementara Pongka Padang terus berjalan ke barat hingga ke Tabulahan.
Pada kisahnya, Pongka Padang yang kemudian oleh orang-orang Mamasa disebut sebagai Nene’ Pongka Padang dalam perjalanan dari Ulu Sa’dang, ditemani oleh dua orang pengiringnya, masing-masing membawa gong Pedang dan sepu’ (jimat-jimat, pakaian dan lain-lain).
Perjalan panjang tim ekspedisi kecil Pongka Padang ke barat, ternyata betul-betul sangat melelahkan. Lembah, sungai, gunung dan ngarai semua dilewati dengan tujuan mencari daerah tempat yang damai untuk menetap. Karena lelahnya saat tiba di sebuah gunung yang tinggi, bersuhu dingin dibawah nol derajat celcius, salah seorang pengawal Pongka Padang, bernama Mambulillin, mengalami letih yang amat sangat. Pengawal itu kemudian pamit pada Pongka Padang untuk pergi selama-lamanya.
Pada gunung tinggi dan bersuhu dingin tersebut Pongka Padang, bersedih atas kepergian pengiringnya yang setia. Dan menguburkan Mambulillin di tempat itu juga. Atas pengabdian yang setia hingga akhir, Pongka Padang mengabadikan nama gunung tersebut dengan Mambulillin. Hingga sekarang, Gunung Mambulilling yang bisa dilihat dengan jelas dari Dusun Rante Pongko, Kec. Mamasa, menjadi legendaris dan merupakah salah satu obyek wisata alam yang sangat prospek di Kabupaten Mamasa.
Tentang nama Mambulillin, penulis melihatnya sebagai nama yang telah menjadi milik masyarakat Mamasa secara meluas, bahkan tempat mobil angkutan umum dari Polewali ke Mamasa, diberi nama Mambulillin, bahkan ada beberapa nama perusahaan menggunanakan Mambulillin. Mungkin karena Mambulillin ini melekat pada nama sebuah gunung.
Lebih uniknya, meskipun telah dikisahceritakan secara meluas bahwa Mambulillin itu adalah pengiring dari Nene’ Pongka Padang, moyang dan pemimpinnya orang Mamasa, Mambulillin ini melewati ketenaran dari tuannya di masa sekarang ini. Perlu diberi catatan, untuk mengenang kebesaran moyangnya, beberapa daerah memberi nama jalan di kotanya sesuai nama orang tersebut, termasuk nama gedung, ruang pertemuan atau tempat umum yang mudah diingat oleh masyarakat. Misalnya dikenal Baruga Batara Guru, ruang pertemuan La Galigo, Stadion Si Jalak Harupat dan lain-lainnya.
Bisa jadi tidak terabadikannya nama Nene’ Pongka Padang di Mamasa, karena moyang orang Mamasa ini, tidak menginginkannya. Karena dalam beberapa kisah cerita disebutkan bahwa Pongka Padang adalah orang yang tidak butuh ketenaran, anti kekerasan hingga mewarsikan “ada tuo” serta sangat mencintai kehidupan yang damai.
Meringkasceritakan perjalanan panjang Nene’ Pongka Padang, moyangnya orang Mamasa, disebutkan pertemuannya dengan seorang perempuan yang bernama To Rije’ne. Keduanya lalu menjadi suami istri dan menetap di sebuah tempat yang bernama Buntu Bulo, To Rije’ne kemudian melahirkan anak-anak Pongka Padang yang berjumlah tujuh orang. Dari tujuh orang putra-putri Pongkapadang, kemudian lahir sebelas orang cucu Pongka Padang. Inilah yang kemudian menurunkan orang-orang Mamasa secara khusus dan Sulawesi Barat secara umum, masing-masing Dettumanan di Tabulahan, Ampu Tengnge’(tammi’) di Bambang, Daeng Matana di Mambi, Ta Ajoang di Matangnga, Daeng Malulung di Balanipa(Tinambung), Daeng Maroe di Taramanu’ (Ulu Manda’), Makke Daeng di Mamuju, Tambuli Bassi di Tappalang, Sahalima di Koa (Tabang), Daeng Kamahu, (Ta Kayyang Pudung) di Sumahu’ (Sondoang), Ta La’binna di Lohe Galumpang (Mangki tua).
Tentang pertemuan antara Pongka Padang dan To Rije’ne tersebut, selain perpaduan asmara dua manusia, satu dari laut dan satu dari gunung. Secara tersirat menyimpulkan adanya pertemua dua dunia budaya yang berbeda. To Rije’ne, bila dieja secara sintaksis, To, berarti manusia atau orang, Rije’ne artinya dari air. Kosa kata ini adalah bahasa Makassar, bahasa yang dipakai pada salah satu pusat kerajaan dan budaya di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Gowa. Dan disebutkan juga dalam berbagai literatur bahwa dari Gowa adalah salah pusat penyebaran manusia-manusia pertama di Sulawesi Selatan. Juga bila melihat nama-nama dari sebelas cucu Pongka Padang – To Rije’ne, ada Daeng Matana di Mambi, Daeng Maroe di Taramanu’ (Ulu Manda’), Daeng Kamahu di Sumahu, Daeng Maroe di Taramanu, memiliki kemiripan dengan nama-nama orang Makassar.
Penulis juga menjumpai beberapa kosa kata dalam bahasa Mamasa yang sangat identik dengan Bahasa Makassar, misalnya “pira,” dan “allo.” Proses geminasi (penebalan) untuk mengatakan “berapa hari” bahasa Mamasa menyebutnya “piranggallo,” identik dengan Bahasa Makassar pada arti yang sama. Namun begitu untuk menarik satu kesimpulan, empirik seperti ini butuh yang riset yang mendalam.
Akbat dari penyebaran dari sebelas cucu Pongka Padang – To Rije’ne tersebut, penulis menyarikutifkan pandangan Octovianus Danunan, Pendiri Group Kondosapata yang dipublish oleh Mamasa On Line, menyebutkan bahwa wilayah itu adalah sebahagian besar adalah Kabupaten Mamasa, secara khusus dan Kondosapata secara luas, meliputi daerah Pesisir, Mamuju (Pamboang) Ulu Manda', sampai ke daerah Binuang. Sementara daerah pedalaman (pegunungan) mencakup Tabulahan (Rantebulahan), Bambang, Mambi, Aralle, Matangganga, Malabo (Tanduk Kalua') Balla, Mamasa, Sesena Padang, sampai ke wilayah Tabang. MUlai dari Suppiran, Sepang, Messawa, Tabone Sumarorong, Pana'
Kondosapata menurut publish-an tersebut. “Wilayah tanah adat yg didiami sekelompok orang dan memiliki prinsip-prinsip hidup yg sangat baik, beradab, punya falsfah yang sangat kokoh, berfungsi untuk mengikat masyarakat sosial yangg ada di dalamnya, saling menghargai, saling menghormati, saling menyayangi agar tetap hidup dalam kekeluargaan, rukun dan damai. Prinsif dan falsafah hidup yang dipakai, diinplementasikan dalam nilai-nilai kehidupan sosial, adat istiadat, budaya dari generasi ke generasi berikutnya ,” (Octovianus Danunan, dalam Mamasa On Line).
Menurut Octovianus Danunan , Prinsip atau falsafah hidup yang mengikat secara kuat manusia-manuia yang mendiami Kondosapata serta memperjelas keberadaan itu diwujudkan prinsip dan kebiasaan hidup yang tercermin dalam bahasa, adat istiadat, upacara, agama dan kehidupan sosial umum. Prinsip saling menghargai dan menghormati terdapat dalam ungkapan, Sitayuk, Sikamasei, Sirande Maya Maya, Artinya saling menghormati, saling menghargai, saling mengasihi dan saling mengangkat satu dengan yang lain.
Dari Kondosapata Wai Sapalelean inilah yang kemudian hari menjelma menjadi Kabupaten Mamasa. Sebuah kabupaten yang di jazirah pulau Sulawesi, disela-sela pengunungan dengan alam yang indah, kaya budaya dan didiami manusia-manusia mendambakan keselarasan untuk hidup aman tenteram dan damai.
Sejarah tentang asal usul orang Mamasa dan budayanya menjadikan daerah yang terletak di dataran tinggi Pulau Sulawesi ini adalah yang cukup ternama di masa lalu. Nenek moyang kita di Mamasa yang dulu masih kental dengan sebuta kawasan atau daerah Pitu Ulunna Salu adalah moyang yang berdifusi secara luas ke seluruh suku-suku bangsa di Pulau Sulawesi, khususnya pada Mandar, Bugis dan Makassar. Karena itu memiliki akar budaya yang kuat.

Pada perisinsipnya moyang orang Mamasa telah mengajarkan pola-pola kebersamaan dan kegotongroyongan yang dikenal dengan istilah “Mesa Kada dipotuo, patang kada dipomate.” Ini adalah nalar lokal yang memiliki akar yang kuat dan hidup dalam diri orang-orang Mamasa. Menjadikan Mamasa  daerah  yang kental persaudaraaannya satu sama lain. Sehinga tidak persoalan atau permasalahan yang tidak dapat diselesaikan. Karena orang-orang Mamasa  menjunjung tinggi norma-norma adat yang telah melingkupinya secara turun temurun.

“Saya melihat hal ini adalah kekuatan yang tidak ternilai harganya bila dikaitkan dengan upaya-upaya percepatan pembangunan masyarakat Mamasa secara luas. Dimana dengan akar budaya tersebut, pemerintah akan menempatkan dirinya sebagai  inspirator dan motivator dalam pembangunan. Tentunya dengan tetap kedepankan etika-etika budaya yang berkembang di masyarakat, secara lansung dapat memberikan kesepahaman yang  sama, bahwa masyarakat itu bukan semata-mata sebagai obyek pembangunan, tetapi juga adalah bagian terpentig bagi kemajuan daerah ini. Artinya, masyarakat ditempatkan sebagai pelibat dan juga adalah pelaku pembangunan.” katanya.

Begitu dikatakan oleh Bupati Mamasa, H. Ramlan Badawi dalam melihat prospek untuk membangun Mamasa dalam bingkai budaya, itu adalah upaya-upaya pemerintah daerah membangun daerah ini secara seutuhnya. Dengan kata lain, bahwa masyarakat yang sejatera itu, adalah sejahtera secara penuh atas ketersediaan kebutuhan jasmani dan rohani.

Sebagai daerah yang masih tergolong baru, Kabupaten Mamasa memang dalam posisi terbelakang dari sektor real, terutama karena daerah yang berhawa sejuk ini belum memiliki infrastrktur jalan yang optimal. Karena itu harus diakui, upaya-upaya produksi masyarakat juga belum maksimal pula dalam mendapatkan hasil yang cukup. Karena itu pemerintah daerah dengan dukungan pemerintah provinsi dan  pusat berusaha secara penuh mencari cara terbaik manata jalan menuju Mamasa.

“Saya sebagai Bupati dan Wakil Bupati  beserta seluruh jajaran pemerintah Kab. Mamasa memang merasakan “gerahnya” masyarakat karena jalannya belum  bagus. Gelombang aksi dan demostrasi menuntut perbaikan jalan, memang terus berlansung. Aksi-aksi dan demostrasi tersebut selain ditujukan kepada pemerintah kabupaten, pemerintah provinsipun dikritik pedas oleh masyarakat. Saya kira itu adalah dinamika masyarakat dengan tujuan yang sama dengan kami di pemerintahan. Inginkan Mamasa yang lebih maju dan berkembang.” tutup Bupati Mamasa, H Ramlan Badawi.

Karena  Pemerintah  Kabupaten Mamasa dan masyarakat Mamasa adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kita semua memiliki aliran darah yang sama.

(dari berbagai literasi, pesanuwentira.blogspot.com)

Kamis, 29 Oktober 2015

Uwentira dan El Dorado, Dua Kerajaan Emas

Ilustrasi  (sumber: tahupedia.com)


Antara Uwentira di Sulawesi Tengah (Suteng) dan El Dorado di Spanyol adalah dua kota dalam diskursus lost city. Telah menjadi legenda dari mulut ke mulut dan disebutkan sebagai kota berselaput emas. Sungguh fantastis.
Ada banyak kesaksian orang-orang tentang dua kota dari dua belahan dunia itu. Semunya memikat, seolah nyata adanya. Hingga orangpun  “berburu” ingin mengetahui, bahkan ingin melihatnya secara secara kasat mata. Namun sangat sedikit yang mampu memenuhi keinginan tersebut.
Dalam ceritanya, El Dorado konon adalah sebuah kota kaya raya yang terbuat dari emas, bahkan tubuh rajanya diselimuti serbuk emas. 

Kisaran cerita ini diawali pada  penjelajahan Columbus di  Amerika pada 1492, kisah dunia baru yang kaya logam mulia itu tersebar ke Eropa, mengundang lebih banyak penakluk Spanyol berdatangan, mengikuti hawa nafsu penaklukan dan mengeruk harta.

Benarkah, banyak emas ditemukan di sana. Namun, temuan arkeolog baru-baru ini menyebut, seluruh perjalanan bangsa Eropa menemukan sebuah kota emas, sia-sia. Sebab, El Dorado bukan tempat melainkan orang. Ia seorang penguasa yang saking kayanya menutup dirinya dengan emas, dari kepala hingga ujung kaki setiap pagi, dan mencucinya di danau suci tiap malam. 

Sementara Uwentira adalah sebuah  lokasi yang berada di  lintas trans-Sulawesi,  jalan  poros Tawaeli  – Toboli. Menurut keyakinan masyarakat setempat, yang disebut  kawasan Wentira atau Uwentira adalah wilayah yang sekarang dikenal sebagai  kawasan “Kebun Kopi.”

Wentira sendiri menurut beberapa kesaksian orang-orang yang mengaku pernah ke sana mengatakan kalau wentira merupakan suatu kota yang sangat teramat indah dengan ciri khas warna kuning atou emas.
Di sekitaran Uwentira,  tidak ada pemukiman penduduk,  hanya pohon-pohon yang menjulang tinggi berwarna keputih-putihan ditandai dengan sebuah jembatan yang konon hanya orang yang mampu melihat hal-hal gaib-lah yang bisa melintas dan menuju dunia gaib tersebut. Jembatan itu juga merupakan pintu gerbang untuk masuk ke kerajaan mistis Uwentira.

Cerita dari warga sekitar atau mayoritas  Orang Kaili, Suku asli di Sulteng  di  jalan poros Tawaeli – Toboli,  jembatan tersebut sudah sangat  tua usianya. Konon katanya, masih buatan Belanda. Di sampingnya ada satu jembatan beton yang digunakan yang digunakan pada kisaran  tahun 1980-an. Setiap kendaraan yang  lewat wajib memberi kode lampu atau membunyikan klakson sebagai tanda permisi. Tradisi ini masih dilakukan sampai sekarang.

Di kawasan Uwentira, jalannya memiliki medan cukup berat, menanjak dengan kemiringan tajam. Belum lagi sering terjadi longsor di sana. Pada lokasi yang disebut-sebut sebagai  gerbang menuju kota hilang itu, sebuah tugu berwarna kuning  bertuliskan “Ngapa Uwentira”. Ngapa dalam bahasa  Kaili  berarti Kampung, negeri atau kota. Uwentira berarti tidak kasat mata (maya). Jadi  tugu itu menyiratkan pengertian “ Negeri  yang tidak tidak terlihat atau maya.

Secara terstruktur dan massif, orang-orang dari berbagai tempat di kawasan Sulawesi Tengah, seperti  Poso, Pargi, Palu, Donggala, bahkan dari Pasangkayu Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Bercerita dan berkisah tentang pengembaraannya di sebuah tempat  yang indah bermandikan emas. Menurut  orang-orang di sana, tempat itu disebutnya sebagai Uwentira. 

Di sana di Kota Emas Uwentira, semuanya berjalan dengan baik, fasilitas umum tersedia dengan cukup. Pasar ramai  dan perputaran uang berjalan dengan merata, tidak menumpuk hanya pada kelompok pemegang kekuasaan. Pempinnya  baik,  tidak terkena gejala  “Narsisus Syndrom”  -- suka memuji diri. Apalagi  “berbohong”  untuk disebut  baik di depan rakyatnya.

Demokrasi di Uwentira adalah demokrasi yang sangat ideasional, tidak ada bias yang mencerminkan otoriter dan oligharkhi. Semuanya aman dan damai. Karena kota itu, kota emas, kota pemimpin dan penduduknya behati “emas.” Sayang itu hanya dunia tidak nyata, seolah nyata dan penah ada dan mungkin masih ada.

Antara  Uwentira dan El Dorado hanya nyata dalam tuturan dari mulut ke mulut dari kepala ke kepala yang lain, hingga melintas pulau, melintas Negara malah. Namun dunia ideasional yang diciptakan oleh pujangga (baca: pengarang cerita sastra, red) pada masing-masing “dunia” Uwentira dan El Dorado, telah mampu menyusup secara tajam, nyata atau tidak kedua kota maya berselaput emas tersebut.


Sumber: lenterasulawesi.blogspot.com