Ilustrasi |
Uwe-Ntira, supranaturalis di negeri emas, Wentira, cukup terheran-heran, seorang
langganannya dari negeri Kayu Lapuk. Dulu-dulu sering datang minta
minta nomor. Ya, apalagi kalau bukan nomor togel.
Sekarang, langganan dari provinsi tetangga itu, datangnya membawa
nomor.
“Uwe, minta ramalan nomor.”
“Nomor apa, Timses.”
“Nomor yang diramal Uwe.”
Uwe-Ntira, yang oleh Timses disebut Uwe, melongo. Tidak
biasanya Timses minta nomor yang diramal peruntungannya. Karena lalu-lalunya
Timses hanya minta nomor yang bakal muncul dalam putaran togel versi Singapura.
“Mana nomor yang mau diramal Timses?”
Timses lalu mengeluarkan tiga lembar kertas yang sudah rapi menyerupai lipatan tissue di rumah makan.
Warnanya, biru, merah kuning. Uwe-Ntira, semakin bingung, nomor apa yang ada
dalam lipatan kertas warna-warni itu. Namun sebagai peramal, dia harus segala
tahu.
“Oh, nomor-nomor ini minta ditebak Timses. Ya ya, tahu.”
“Bukan Uwe.”
Uwe-Ntira membelalak. Ia tidak enak hati disanggah oleh
Timses. Sebagai peramal ternama di negeri terkemuka, ia harus tahu segalanya termasuk lipatan kertas yang dibawa oleh
Timses. Ia juga mulai berpikir, apa dibalik kertas biru, merah dan kuning itu. Jangan-jangan nomor rekening yang berisi uang milyaran
rupiah. Karena ia tahu, Timses adalah salah seorang pejabat penting di negeri Kayu Lapuk, dengan lihainya, ia bisa saja memain-mainkan uang negerinya
demi diri dan kroninya.
“Timses, itu tiga nomor rekening tho, mengaku, saja, Uwe,
dah menebaknya.”
Timses melongo, Uwe-Ntira yang selama ini dianggapnya
peramal hebat, ternyata lebih jauh menebak dirinya. Bukan saja meramal,
peruntungan nomor-nomor yang ada di balik lipatan kertas yang dibawahnya.
Tetapi juga tahu apa isi kepalanya berhubungan dengan nomor-nomor yang di
bawaya itu.
(bersambung . . .)
Alkisah ini hanyalah rekaan semata. Kesamaan tempat dan
nama tokoh hanya kebetulan belaka.
Dari: Pesanuwentira.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar